ABSTRAK
Filologi
merupakan salah satu metode pendekatan yang dilakukan dalam proses pengkajian
agama Islam maupun agama lainnya. Pendekatan filologi menggunakan naskah dan
teks sebagai objek dari pendekatan yang mereka fokuskan. Meskipun dewasa ini
pendekatan filologi sudah tidak terlalu trend dilakukan, tetapi pendekatan ini
berperan sangat penting dalam kemajuan intelektual di seluruh dunia. Karena
istilah filologi ini sendiri berasal dari bahasa Yunani dan diaplikasikan lebih
dulu oleh para peneliti Barat.
PENGANTAR
Dewasa
ini, di Indonesia pada khususnya telah melahirkan banyak sekali penulis-penulis
yang memilih kajian Islam sebagai fokus dari penelitian maupun tulisannya.
Sejarah Islam yang panjang, dan memiliki banyak ilmuwan juga berbagai perbedaan
dalam pemahaman Islam sendiri bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian
penulis yang menfokuskan karyanya untuk meneliti agama Islam.
Berbicara
mengenai sejarah Islam dan para penulis yang meneliti tentang kajian Islam,
tentu kita tidak bisa lepas dari sumber yang menjadikan lainnya para
penulis-penulis tersebut. Sumber-sumber yang menjadi bukti dari peradaban
sejarah Islam salah satunya ialah berupa naskah dan teks. Adapun naskah-naskah
tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadist dan lain sebagainya. Berbagai
naskah ini bisa kita temukan di tempat-tempat bersejarah dengan naskah
tersebut, perpustakaan dan lain sebagainya. Di dalam pendekatan yang digunakan
untuk memahami tulisan masa lampau ini, para penulis maupun peemu biasa
menggunakan metode pendekatan filologis.
Melalui
makalah yang singkat ini, penulis akan sedikit menjabarkan tentang apa yang
dimaksud dengan pengertian pendekatan filologis dalam penelitian naskah agama
islam, objek dan sasaran filologi, tujuan filologi, sejarah filologi, teori
filologi dan metode pendekatan filologi. Semoga yang sedikit ini bermanfaat.
Sekian.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Pendekatan filologi dalam pengkajian
Islam sudah dikenal cukup lama. Pendekatan ini sangat populer bagi para
pengkaji agama terutama ketika mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa
lalu. Karena objek dari pendekatan filoogi ini adalah warisan keagamaan, berupa
naskah-naskah klasik dalam bentuk manuskrip. Naskah-naskah klasik itu meliputi
berbagai disiplin ilmu; sejarah, teologi, hukum, mistisme dan lain-lainnya yang
belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dimanfaatkan di
egara-negara muslim. Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam
itu adalah bahasa, seperti Bahasa Arab, Persia, Turki dan Urdu.
Dalam pengertiannya, filologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu kata “philos” yang berarti “cinta” dan “logos” yang
berarti’ pembicaraan’, ‘kata’ atau ‘ilmu’. Pada kata “filologi” kedua kata itu
secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang bertutur”. Arti
ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu” atau
“senang kebudayaan”, hingga dalam perkembangannya sekarang filologi identik
dengan senang kepada tulisan-tulisan yang ‘bernilai tinggi’.
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai
dipakai sekitar abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah
ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji
peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun
sebelumnya.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi,
filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan
kekhususannya atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan
kesusastraannya. Jadi, filologi sebagai disiplin ilmu mengenai bahasa dan
sastra suatu bangsa, pada mulanya erat kaitannya dengan bahasa dan sastra
bangsa Yunani dan Romawi, kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa-bangsa
lain, seperti bahasa Perancis, Spanyol dan Belanda.
Filologi sebagai istilah memiliki
beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Filologi
sebagai ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada. Dari pengertian ini, filologi
memperoleh arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui
orang.
2. Filologi
sebagai ilmu bahasa. Dalam konsep ini, filologi dipandang sebagai ilmu dan
studi bahasa yang indah, seperti yang saat ini dilakukan oleh linguistik.
Apabila studinya dikhususkan terhadap teks-teks masa lampau, filologi
memperoleh makna sebagaimana yang terdapat pada linguistik diakronis, yang
menangani perbandingan bahasa, perkembangan bahasa, dan hubungan kekerabatan
antara beberapa bahasa. Filologi dengan pengertian ini salah satunya dapat dijumpai
di Inggris, sementara di Arab, filologi yang demikian disebut dengan istilah fighullughah.
3. Filologi
sebagai ilmu sastra tinggi. Arti ini muncul ketika teks-teks yang dikaji berupa
karya sastra yang bernilai tinggi, yaitu karya Humeros.
4. Filologi
sebagai studi teks. Yaitu suatu studi yang melakukan kegiatannya dengan
melakukan kritik terhadap teks atau kritik teks. Dalam pengertiannya yang
demikian, filologi dikenal sebagai studi tentang seluk beluk tekstologi.
B.
Objek
dan Sasaran Filologi
Filologi mencoba mengungkapkan hasil
budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk
tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks klasik dapat
dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan atau yang biasanya disebut naskah.
Objek kajian filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah.
Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan
masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah.
Naskah sering pula disebut dengan manuskrip atau kodeks yang berarti tulisan
tangan.
Naskah yang menjadi objek kajian
filologi mempunyai karakteristik bahwa naskah tersebut tercipta dari latar
belakang sosial budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar
sosial budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak. Bahan
yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu telah
mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat dari
munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau.
Wahana teks-teks filologi ada yang
berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks tulisan ada yang berupa tulisan tangan
(naskah) dan tulisan cetakan. Oleh karena itu, dilihat dari tradisi
penyampaiannyaterdapat filologi lisan, filologi naskah dan filologi cetakan.
Kerja filologi lisan banyak berkaitan dengan studi tradisi lisan yang merupakan
yang merupakan tradisi penyampaian teks yang paling tua. Filologi naskah banyak
berhubungan dengan pengetahuan mengenai kehidupan naskah, mengenai berbagai
segi penyaksian dengan tulisan tangan dan akibat-akibatnya. Filologi cetakan
banyak berhubungan dengan tradisi cetakan. Tradisi ini dimulai pada tahun 1450,
saat ditemukannya teknik cetak mencetak oleh Guttenberg dari Jerman.
Dalam sejarah perkembangannya,
pengertian filologi mengalami perubahan dan perkembangan. Pengertian dan
penerapannya di Indonesia contohnya, pada awal mulanya dipengaruhi oleh para
ahli terdahulu, yang sedikit banyak dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan
pemahaman tentang filologi yang berlaku dan yang diperlukan untuk mnggarap
karya-karya abad pertengaha yang menjadi sasaran dan objek kerja peneliti
filologi terdahulu.
Naskah-naskah di Indonesia menyimpan
sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan. Diantara yang
belum banyak mendapat sentuhan penelitian adalah naskah-naskah yang menyimpan
ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam. Naskah-naskah tersebut pada saat
ini sedang menunggu perhatian dari para ahli bidangnya.
C.
Tujuan
Filologi
Sejarah asal mula lahirnya filologi
sebagai suatu istilah, menunjukkan bahwa filologi diperlukan dalam upaya
mengungkap informasi mengenai kehidupan masa lampau suatu masyarakat tertentu,
yang tersimpan dalam wujud peninggalan yang berupa tulisan. Diketahui, melalui
penggarapan naskah, filologi mengkaji teks klasik dengan tujuan mengenalinya
sesempurna mungkin dan selanjutnya menempatkannya dalam keseluruhan sejarah
suatu bangsa. Dengan menemukan keadaan teks seperti adanya semula, maka teks
dapat terungkap secara sempurna pula. Secara terperinci, dapat dikatakan bahwa
filologi memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:
1. Tujuan
umum
a. Memahami
kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tulisan
b. Memahami
makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya
c. Mengungkap
nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan
2. Tinjauan
khusus
a. Menyunting
sebuah teks yang dipandang mendekati teks aslinya
b. Mengungkap
sejara terjadinya teks dan sejarah perkembangannya
c. Mengungkap
resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaanya.
Secara umum filologi bertujuan untuk
menertibkan, menyunting dan menganalisis suatu naskah kuno. Tentu dalam hal ini
sangat memerlukan disiplin-disiplin ilmu lainnya sebagai sejarah, filsafat
sosiologi, antropologi, sejarah agama dan lainnya. Maka dapat dikatakan bahwa
secara praktis penelitian filologi dilakukan untuk tujuan menunjang ilmu-ilmu
lain. Sedangkan secara metodologis dilakukan karena banyaknya naskah kuno yang
masih harus diuji otentitas isi kandungan atau teksnya. Pengujian otentitas
atau kemurnian suatu teks tersebut harus dilakukan secara cermat dan kritis
terhadap semua varian yang terdapat dalam teks, yang dimaksudkan agar dapat
menghasilkan suatu teks yang mendekati aslinya. Sementara kegunaan hasil
penelitian filologi adalah sebagai suatu informasi yang sangat beharga bagi
khalayak umum dan dapat digunakan oleh cabang-cabang ilmu lain, seperti
sejarah, hukum dan agama.
D.
Sejarah
Filologi
Uraian mengenai periodisasi filologi
berkisar pada masalah perkembangan filologi secara kronologs. Dalam hal ini
menyangkut pula bagaimana proses perjalanan filologi dalam setiap kurun waktu
tertentu sejak kemunculannya pertama kali di wilayah-wilayah tertentu dan telah
tercatat dalam kalangan dunia ilmu pengetahuan.
1. Permulaan
lahirnya filologi
Berbicara masalah kegiatan filologi pada
masa awal pertumbuhannya, tidak berarti hanya berkisar pada saat kali pertama
filologi itu muncul dan dikenal lalu selesai sampai di situ, tetapi mencakup
suatu proses perjalanannya hingga tumbuh sebuah pandangan baru di bidang filologi
tersebut. secara garis besar, dapat diberikan sebuah patokan waktu untuk masa
pertumbuhan filologi itu sejak abad ke-3 SM hingga menjelang abad pertengahan,
yakni sekitar abad ke-9 M. Di dunia Barat, masa awal kegiatan filologi
berlangsung pada abad ke-3Sm meskipun wilayah yang menjadi rujukan para ahli
yang berada di Pantai Utara Benua Afrika, yakni kota Iskandariyah di wilayah
negara Mesir yang secara geografis termasuk daerah Timur Tengah. Namun, karena
wilayah tersebut pada saat ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Yunani, maka
dipandang bahwa kota Iskandariyah termasuk wilayah Eropa.
Pada abad ke-3 SM, kota Iskandariyah
telah menjadi pusat ilmu pengetahuan karena di tempat itu sudah banyak ahli
yang melakukan penelitian dan pengkajian teks-teks naskah. Para ahli ini
kebanyakan berasal dari sekitar Laut Mediterania dan Eropa Selatan, terutama
bangsa Yunani.
Pada abad ke-1 SM kota Iskandariyah
jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Romawi, sehingga pusat kegiatan filologi
bergeser ke kota Roma. Tradisi ini berkembang hingga abad ke-4 M yang ditandai
dengan pecahnya kerajaan itu menjadi dua yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur.
Sejak saat itu, perkembangan kebudayaan Yunani, yaitu yang disebut hellenisme
berangsur-angsur memudar dan mengalami kemunduran. Sejak abad ke-4, kegiatan
filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah-naskah berbahasa
Romawi yang telah dirintis sejak abad ke-3. Pada abad ke-4 kegiatan filologi di
kawasan Timur Tengah berkembang ditandai dengan munculnya perguruan tinggi
sebagai pusat studi ilmu pengetahuan. Ketika abad ke-5, kota Edessa terjadi
perpecahan gerejani, banyak ahli filologi yang berhijrah ke kawasan Persia dan
mereka mendapat sambutan dari penguasa setempat. Penduduk India telah
mengembangkan aksara sejak abad ke-8 SM dan pada abad awal Masehi pengaruhnya
sudah meluas ke wilayah Kepulauan Nusantara.
2. Filologi
abad pertengahan
Abad pertengahan berlangsung kira-kira
sekitar abad ke-10 sampai menjelang zaman Renaisans, yaitu sekitar abad ke-15.
Dalam abad pertengahan ini, kegiatan filologi yang semula terpusat kepada
naskah-naskah Yunani, tampak mengalami stagnansi bahkan mengalami kemunduran
lebih-lebih bahasa-bahasa di daerah kawasan eropa tidak menarik perhatian.
Nasranilah yang mula-mula membangkitakn perhatian kepada bahasa-bahasa di
daerah eropa yang pada waktu itu penduduknya masih primitif.
Pada abad pertengahan, bangsa-bangsa di
Timur Tengah telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki khazanah pernaskahan
yang cukup bernilai sebagai karya-karya yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan
Perth. Perkembangan agama Islam di situ terjadi pada abad ke-10 sampai abad
ke-13.
3. Filologi
abad dua puluh
Perkembangan filologi
pada abad 20 erat hubungannya dengan aliran yang meliputi seluruh pandangan
ilmu pengetahuan. Selama masa tersebut, orang tidak lagi mengutamakan pandangan
analitis, tetapi lebih cenderung kepada pandangan atas dasar sintesis.
Perkembangan selanjutnya tampak dalam hal cara penggunaan metode kritik teks
dalam rangka menghasilkan suntingan berdasarkan pendekatan filologi
tradisional, dengan tetap disertai terjemahan ke dalam bahasa asing. Terbitan
itu diantaranya adalah yang didasarkan kepada naskah Hikayat Seribu Masalah.
E.
Teori
Filologi
1. Pengertian
Naskah dan Teks
Objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang
menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa
masa lampau. Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah handschriift dengan singkatan hs
untuk tunggal, mss untuk jamak.
Dengan demikian naskah merupakan benda konkrit yang dapat dilihat dan dipegang.
Sedangkan yang dimaksud dengan teks ialah kandungan atau isi dari naskah yang
bersifat abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar
dapat disebutkan ada tiga macam teks, yaitu:
a. Teks
lisan (tidak tertulis)
b. Teks
naskah tulisan tangan
c. Teks
cetakan
2. Terjadinya
teks
Berkaitan dengan masalah teks, jarang
ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurnanya jelas tersedia. Menurut de
Haan Suryani, ada beberapa kemungkinan dalam terjadinya teks, yaitu:
a. Aslinya
hanya ada dalam ingatan pegarang atau pengeloloa cerita. Turun temurun secara
terpisah, yang satu dari yang lain melalui dikte, apabila orang itu ingin
memili teks sendiri
b. Aslinya
teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan
atau emerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa teks aslinya
begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain, aslinya disalin,
dipinjang, diwarisi atau dicuri.
c. Aslinya
merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaannya, karena
pengarang telah menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk
memenuhi maksud tertentu.
3. Istilah
Naskah di Luar Koteks Filologi
Di luar konteks filologi, dalam pemakaian
sehari-hari naskah yang akan diterbitkan atau diperbanyak pada umumnya tidak
lagi ditulis dengan tangan. Dalam hal ini naskah merupakan kopi atau teks
bersih yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, misalnya naskah disertasi dan
naskah makalah. Di samping itu, istilah naskah dan teks dipakai dengan
pengertian yang sama, misalnya naskah pidato dan teks pidato.
4. Kritik
Teks
a. Pengertian
kritik teks
Teks pada umumnya disalin dengan tujuan
tertentu. Frekuensi penyalinannya tergantung pada sambutan masyarakat terhadap
suatu naskah. Dalam hal teks profan yang
dianggap milik bersama, frekuensi tinggi penyalinan menunjukkan bahwa naskah
itu sangat digemari, sedangkan sebaliknya merupakan petunjuk kurang populernya
suatu naskah.
Suatu teks seperti diungkapkan
sebelumnya tidak luput dari berbagai kesalahan atau penyimpanan di dalam
tradisi penurunannya. Kesalahan atau penyimpangan itu disebabkan adanya perubahan-perubahan
dalam penyajiannya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Teew mengemukakan
bahwa perubahan yang dilakukan secara sengaja dalam sebuah teks dapat dibedakan
menjadi beberapa hal yakni sebagai berikut:
1) Perubahan
terjadi karena masalah transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem yang
lain
2) Adanya
penggarapan kembali karena ingin menyesuaikannya dengan perkembangan idenya
3) Teks
diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit maupun seorang penyunting
4) Teks
diubah karena adanya campur tangan sensor atau seorang pembesar dengan alasan
politik, moralis dan lain-lain
5) Teks
diubah karena tujuan tertentu, misalnya disesuaikan dengan pemakaian di
sekolah.
5. Paleografi
Paleografi adalah ilmu macam-macam
tulisan kuno, yang mutlak diperlukan dalam rangka meneliti tulisan kuno yang
tertulis pada batu, logam atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai dua tujuan,
yaitu:
a. Menjabarkan
tulisan kuno karena beberapa tulisan kuno sangan sulit dibaca
b. Menempatkan
berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan
atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadi tulisan tertentu.
F.
Metode
Kajian Filologi
Berkenaan dengan masalah metode kajian
filologis, Teeuw mengemukakan bahwa metode yang dikembangkan dalam filologi
oleh Lachman dan beberapa tokoh lain berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah
teks pernah tercipta dalam bentuk naskah atau karangan yang unik dan murni,
yang kemudian dalam penurunan sepanjang masa menjadi kacau atau korup karena
salah tulis oleh penyalin, baik salah yang di sengaja maupun yang tidak di
sengaja. Oleh karena itu tujuan utama dari filologi ialah memulihkan teks
kepada sebuah bentuk yang diperkirakan paling sesuai dengan karangan aslinya
lewat perbandingan naskah secara cermat.
Metode kajian filologi terbagi atas
metode penelitian naskah, berupa deskripsi wujud fisik dan metode kajian teks
atau kritik teks.
1. Metode
Penelitian Naskah
Sasaran atau hasil dari
metode penelitian naskah berupa identitas, kondisi, dan keberadaan naskah.
Dalam skala kuantitas yang besar dapat diwujudkan beberapa katalog naskah.
Sedangkan aplikasi dan metode tersebut berupa pendeskripsian berbagai aspek
fisik naskah yang meliputi ragam aksara/huruf, ragam bahasa dan ciri-ciri luar
naskah. Adapun tahapan-tahapan penelitian naskah tersebut meliputi: intervensi
naskah, deskripsi naskah, klasifikasi naskah, silsilah naskah atau steme dan
penentuan naskah dasar.
a. Intervensi
naskah dapat dilakukan melalui penelitian di museum atau perpustakaan dan
penelitia di kalangan masyarakat.
b. Pendeskripsian
identitas naskah yang meliputi aspek-aspek antara lain sebagai berikut:
1) Judul
naskah
2) Nomor
naskah/ kode koleksi
3) Nama
enyusun/pengarang
4) Tarikh
penyusunan
5) Tempat
penyusunan
6) Pemrakarsa
penyusunan
7) Nama
penyalin
8) Tarikh
penyalinan
9) Tempat
penyalinan
10) Pemrakarsa
penyalinan
11) Aksara/huruf
12) Bahasa
13) Bentuk
karangan
14) Ukuran
15) Jumlah
baris setiap halaman
16) Bahan
naskah
17) Jenis
kertas
18) Cap
kertas
19) Tebal
naskah
20) Jilid/serial
naskah
21) Penomoran
halaman
22) Kondisi
fisik
23) Asal/
riwaat naskah
24) Pemilik
naskah
25) Keterangan/penjelasan
umum
26) Data
pendiskripsian naskah
c. Singkatan
naskah dan klasifikasi naskah yang dilakukan untuk memudahkan pengenalan naskah
serta untuk menentukan naskah sumber primer dan sumber sekunder.
d. Komparasi
naskah atau perbandingan antar naskah, antara lain ditempuh melalu perbandingan
kuantitas teks untuk mendapatkan gambara isi naskah secara jelas dan untuk
mengetahui adanya unsur-unsur baru dalam naskah.
e. Menentukan
silsilah naskah atau stema naskah. Melalui stema naskah dapat menentukkan
pertalian atau kekerabatan antar naskah yang memuat teks yang sama yang
diwujudkan dalam bentuk silsilah atau skema atau silsilah naskah.
f. Penentuan
naskah dasar yang akan ditransliterasi yang dilakukan dengan pertimbangan,
antara lain : isinya lengkap dan tidak lebih banyak penyimpangan ketimbang
dengan naskah lainnya, kondisi naskah utuh, bahasanya linear dan mudah
dipahami.
2. Metode
Kajian Teks
Sasaran metode kajian teks adalah proses
rekonstruksi teks guna menghasilkan sebuah edisi teks atau suntingan teks
berdasarkan naskah-naskah tertentu yang telah dikaji. Sebuah suntingan tes ada
yang didasarkan atas codex uniqus ‘naskah
tunggal, ada pula yang didasarkah pada ‘naskah banyak’.
Apabila hanya terdapat sebuah naskah,
maka bisa ditempuh melalui dua cara, yaitu: edisi diplomatik dan edisi standar.
Sedangkan jika naskah yang diperolah lebih dan satu buah, maka ada empat metode
yang dapat dipilih, yakni: metode intuitif, metode objektif, metode gabungan
dan metode landasan. Namun demikian, proses penyuntingan teks yang didasarkan
atas naskah banyak, para praktiknya, cenderung hanya bergantung pada dua
pilihan, yakni antara metode gabungan dan metode landasan.
3. Metode
edisi naskah tunggal (coder uniqus)
Apabila hanya ada naskah tunggal yang
tidak memungkinkan dilakukan perbandingan, maka dapat ditempuh dua jalan
berikut ini:
a. Edisi
diplomatis, yaitu menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya tanpa mengadakan
perubahan. Edisi diplomatik yang baik adalah hasil pembacaan yang teliti oleh
seorang pembaca yang ahli dan berpegalaman.
b. Edisi
standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil
dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku.
4. Metode
edisi naskah banyak (coder multus)
Apabila naskah yang ditemui dilapangan
tersebut berjumlah banyak, maka ada beberapa metode yang dilakukan, yaitu:
a. Metode
intuitif
Dikarenakan sejarah
terjadinya teks dan penyalinan yang dibuat berulang kali, maka pada umumnya
tradisi teks sangat beranea ragam. Pada zaman humanisme, orang ingin mengetahui
bentuk asli karya-karya klasik Yunani dan Romawi. Ketika itu, metode ilmiah
objektif belum dikembangkan. Orang bekerja secara intuitif, dengan cara
mengambil naskah yang dianggap paling tua. Di tempat yang dipandang tidak betul
atau tidak jelas, naskah itu diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan
menggunakan akal sehat, selera baik dan pengetahuan luas. Metode ini bertahan
sampai abad ke 19.
b. Metode
objektif
Pada tahun 1830-an ahli
filologi Jerman, Lachman dan kawan-kawan, meneliti secara sistematis
hubungan-hubungan kekeluargaan antara naskah-naskah sebuah teks atas dasar
perbandingan naskah yang mengandung kehilafan bersama. Jika dari sebuah naskah,
ada beberapa naskah yang selalu mempunyai kesalahan yang sama pada tempat yang
sama pula, maka dapat disimpulkan bahwa naskah-naskah tersebut berasal dari
satu sumber yang hilang.
c. Metode
gabungan
Metode ini dilakukan
jika nilai naskah menurut tafsiran fiolog semuanya hampir sama atau perbedaan
antar naskah tidak besar. Walaupun ada perbedaan, tetapi hal itu tidak
mempengaruhi teks. Pada umumnya yang dipilih ialah bacaan mayoritas atas dasar
perkiraan bahwa jumlah naskah yang banyak itu merupakan saksi atas bacaan yang
betul. Bila ada yang meragukan misalnya, karena jumlah naskah yang mewakili
bacaan tertentu sama, maka dipakai pertimbangan lain, diantaranya kesesuaian
dengan norma tata bahasa, jenis sastra, keutuhan cerita, faktor-faktor literer
lain dan latar belakang yang pada umumnya.
d. Metode
Landasan
Penerapa metode ini
ialah jikan menurut tafsiran, ada satu atau segolongan naskah diyakini lebih
unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang diperiksa dari sudut
bahasa, kesastraan, sejarah dan lain sebagainya. Dalam metode landasan,
varian-variannya hanya digunakan sebagai pelengkap atau penunjang. Seperti
halnya pada metode atas dasar bacaan mayoritas, pada metode ini pun
varian-varian yang terdapat dalam naskah-naskah lain yang seversi di muat dalam
aparat kritik yaitu bahan pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah.
G.
CONTOH
PENDEKATAN FILOLOGI: 7 MARTABAT DALAM BUDAYA ISLAM INDONESIA
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan
yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan
melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.Sejarah mencatat, pada akhir abad
ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada
dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah
a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah
hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan
wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita
lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta
manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru
Sekalian Alam.Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada
akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil
di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang
tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang
ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham
Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan
keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan
fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian
berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang
dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan
Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep
Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan
Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal
sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan,
sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti
kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana
konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu
suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek
lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala..
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan;
“Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui
tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an.
Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang
proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari
tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep
martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan
dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal
perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat
tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut
ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya
dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang
melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi
(murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar
ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa
dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka
mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat
Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan
masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka
tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini,
Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya
fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala
yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir
alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang
dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah
tanpa perantara.
1.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah
Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama
(tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari
alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat),
al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat
kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal
terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at
(zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib),
Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
1.1 ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam
Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada
asma',belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN,
Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi
tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu
peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan
jasmani.Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat
pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah
dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan
RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri.
Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi KhodimPada masa
ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat
Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam
keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di
namakan KUNNAH ZAT.
1.2 ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan
peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah
mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu "La Tak Yin Sani" -
sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada
permulaannyan.Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil
juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat
ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat "Allahus Shomad"
iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala
langit dan 7 bumi.Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya
itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok
besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak
nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La
Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi
tidak zahirMaka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras'ma dan di
peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah
berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa
yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki
Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna
cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah
zahir pada hakikinya.
1.3 ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga
setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka
Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu
martabat As'ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat
(Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di
namakan "Hakikat Insan."Martabat ini terkandung ia didalam "Lam
yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada
martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada
hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin.Apa yang dikatakan berhimpun lagi
bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing
- masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu
dalam keadaan "Ainul Sabithaah". Ertinya sesuatu keadaan yang tetap
dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat
lagi.Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana
wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu
Allah.Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki
dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada
menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.
1.4 ALAM ROH
Pada peringkat ke empat
di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu
batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan
Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana
batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa'alnya.Ianya menjadi sempurna,
cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan
keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki
daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia "Jisim Latiff" iaitu satu
batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan
tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah
yang dinamakan "KholidTullah."Pada martabat ini terkandung ia di
dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan
hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat
Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya
dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.
1.5 ALAM MISAl
Alam Misal adalah
peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan
rahsia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah
S.W.T., terus menyatakan diriNya melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata
dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa iaitu dinamakan
Alam Misal.Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani
iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan.Alam misal jenis
ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam
Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses
peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata
dalam tidak Nyata.Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di
tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa
(misal).Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam
surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya
menjadi "DI", "Wadi", "Mani" yang kemudiannya di
salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan
diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah
apa yang di katakan "Maknikam" ketika berlakunya bersetubuhan
diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)Perlu diingat tubuh rahsia
pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang
elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal
ia akan mati.
1.6 ALAM AJSAM
Pada peringkat ke enam,
selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa ,
maka berpindah pula diri rahsia ini melalui "Mani" Bapa ke dalam
Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.Pada martabat ini dinamakan ia pada
martabat "InssanulKamil" iaitu batang diri rahsia Allah telahpun
diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi
"KamilulKamil". Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan
rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan
sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling
suci yang dinamakan "InnsanulKamil".Pada martabat ini terkandung ia
di dalam "Kuffuan" iaitu bersekutu dalam keadaan "KamilulKamil
dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.Selepas cukup tempuhnya dan
ketikanya maka diri rahsia Allah yang menjadi "KamilulKamil" itu di
lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.
1.7 ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh
iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad" iaitu sa (satu).
Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan
diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di
lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini.Maka pada alam Insan ini dapatlah di
katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah
dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu
peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.Oleh kerana ia merupakan satu
perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini,
bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu
kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini
hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik
kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah -
lengah lagi.
H.
KESIMPULAN
Pendekatan
filologi merupakan suatu pendekatan yang mempunyai peran sangat penting dalam perkembangan
kemajuan intekektuaitas di era ini. Karena semua karya-karya dari orang
mengkaji pendekatan ni lahir berdasarkan karya dari pengkaji masa lampau yang
mampu di transformasikah dalam melalui bahasa maupun tulisan melalui pendekatan
filologis, yang dalam hal ini lebih memfokuskan pada pendekatan filologis dalam
kajian islam.
Dalam
contoh yang telah dikemukakan, bahwa ada suatu aliran dalam Islam yang
berkembag berdasarkan suatu teks kuno yaitu mengenai faham martabat tujuh.
Meskipun aliran jenis ini masih belum banyak dikenal oleh masyarakat dan malah
sudah hampir tidak ada, tetapi sejarah masih mencatat mengenai paham martabat
tujuh ini. Hal ini pun dibuktikan dengan masih banyaknya peneliti baik dar
kalangan akademisi maupun sufi yang menulis mengenai faham ini sebagai salah
satu faham dalam Islam.
I.
DAFTAR
PUSTAKA
NS,
Ekis Suryani, 2012, Filologi, Ghalia
Indonesia, Bogor
Masyhur
Amin, M, 1992, Pengantar Ke arah Metode,
Penelitian dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Agama, IAIN Sunan Kaijaga
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar