Taaruf with me...:)

Senin, 23 November 2015

kebijakan sosial yang (masih) dipertanyakan



1.      Bagimana memajukan kebijakan sosial di indonesia.
Kebijakan merupakan sebuah aksi nyata dari pemerintah untuk meminimalisir masalah yang dimiliki di dalam negaranya masing-masing. Kebijakan ini lahir dikarenakan adanya suatu permasalahan yang memerlukan suatu cara atau jalan keluar dalam mengatasi permasalahan tersebut, maka dari itu lahirlah yang dinamakan sebuah kebijakan. Adapun pengertian dari kebijakan yang ditulis di dalam buku dari Bapak Edi Suharto ialah menyepadankan kebijakan dengan kata bahasa inggris yaitu “policy”. Kebijakan ialah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan menurut Titmuss (1974) ialah yang senantiasa berorientasi kepada masalah (problem oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action oriented). [1]
Bila dikaitkan dengan kebijakan sosial, arti dari kebijakan sosial itu sendiri ialah suatu kebijakan yang menjadikan aspek sosial sebagai fokus dari pengambilan suatu keputusan tersebut. Secara generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektif. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Adapun dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis.  [2]
Menurut Bapak Edi Suharto yang disampaikan dalam perkuliahanya, kebijakan ialah ketetapan pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup warga negaranya melalui pengorganisasian dan atau penyediaan pelayanan sosial, jaminan sosial dan program-program penunjang lainnya.[3] Selain itu, menurut Bapak Izul yang disampaikan dalam perkuliahan mata kuliah kebijakan dan kesejahteraan sosial
Pada dasarnya, tujuan utama dari suatu kebijakan sosial ialah untuk mensejahteraan dan membantu rakyat keluar dari belenggu permasalahan sosial yang tejadi dalam hidupnya. Masalah sosial ialah suatu permasalahan yang meresahkan banyak pihak dan sudah ditinjau dan diteliti oleh para ahli. Ketika kita membahas mengenai permaslahan sosial yang terjadi di indonesia pada umumnya atau permaslahan internasional tentu tidak akan pernah ada habisnya. Namun semua permasalahan sosial yang terjadi tidak mungkin ada tanpa solusi. Hal ini sesuai yang di firmankan oleh Allooh SWT dalam firmanNya yang memiliki arti “bahwa setiap permasalahan terjadi bersama kemudahan”. Oleh karena itu, salah satu bukti dari firman tersebut tertuang dalam sesuatu yang dinamakan sebagai sebuah kebijakan yang sudah berusaha direalisasikan oleh pemerintah Indonesia.
Adapun setiap permasalahan sosial memiliki kebijakan yang berbeda-beda, karena kita tidak bisa menyamaratakan semua permasalahan dengan satu kebijakan. Misalkan suatu permasalahn sosial yang terjadi dalam bidang kesehatan, tent kita tidak bisa menggunakan kebijakan sosial yang terjadi dalam bidang pendidikan untuk mengentaskan masalah dalam bidang kesehatan.
Seperti yang sudah disinggung di atas mengenai bentuk suatu kebijakan ialah berupa sebuah pelayanan sosial kepada masyarakat yang terkena suatu permaslaha sosial. dewasa ini, bukti nyata dari suatu kebijakan sosial di Indonesia sudah mulai terlihat dan menunjukkan keseriusannya, meskipun pengalokasian pendapatan negara terhadap permasalahan sosial hanya mencakup angka 0,2% namun pelayanan sosial sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Seperti Jamkesos, BPJS, Kartu Sakti, Beasiswa dan lain sebagainya.
Kebijakan sosial merupakan tanggung jawab dari pemerintah, dikarenakan kebijakan ini lahir dari pemerintah. Namun, kebijakan sosial tidak akan berjalan dengan baik jika hanya mengandalkan pemerintah saja. Berbagai macam kebijakan sosial untuk menangani permasalahan sosial di Indonesia dinilai sudah cukup bagus. Meskipun masih terdapat berbagai keurangan di berbagai sektor. Karena tidak akan ada sesuatu yang sempurna di muka bumi ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Namun sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan dan sebagai pemangku dari kebijakan dan wakil rakyat, pemerintah haruslah serius dalam melaksanakan berbagai kebijakan sosial untuk menyelamatkan masyarakat terleas dari belenggu masalah sosialnya. Tetapi pada kenyataannya, banyak korupsi yang terjadi di pemerintahan yang hal itu terkait dengan uang rakyat. Contoh konkrit ialah kasus dari Gayus Tambunan yang saat ini masih mendekam di penjara karena menggelapkan uang pajak. Uang pajak saja bisa di korupsi, apalagi uang yang lainnya?
Ketika berbicara mengenai kebijakan sosial di Indonesia, sudah dikatakan oleh penulis di atas bahwa Indonesia sudah cukup bagus dalam perumusan sebuah kebijakan. Karena hampir semua sektor permasalahan sudah bisa disentuh oleh kebijakan sosial di Indonesia melalui berbagai menterinya. Misalkan permasalahan dalam hal pertanian, sudah ada menteri pertanian yang menjadi tumpuannya. Maupun masalah ekonomi secara mikro maupun makro, pun sudah ada menteri yang ahli di bidangnya. Tapi mengapa dengan hal tersebut Indonesia masih jauh dari kata sejahtera? Ini yang menjadi pekerjaan rumah untuk kita bersama, karena sebagai masyarakat biasa tentu kita tidak bisa jika hanya berpangku tangan pada emerintah untuk menunggu bantuan dari mereka.
Adapun dalam hal ini, penulis mencoba untuk memberikan solusi sebagai seorang masyarakat biasa yang cenderung masih di bawah sebagai pekerjaan rumah mengenai cara untuk memajukan kebijakan sosial di Indonesia. Pertama, ialah pemerintah harus bebenah diri terlebih dahulu untuk menjadi pemerintah yang lebih amanah lagi. Karena dalam kenyataannya sekarang, kepercayaan terhadap pemerintah sudah kian memudar. Kepercayaan pemerintah kepada negara untuk menjadi wakil rakyat dalam membantu menyelamatkan mereka dari belenggu masalahnya malah menjadikan sumber tersebut sebagai cara untuk memperkaya diri mereka sindiri dan keluarganya. Banyaknya permasalahan sosial yang tidak tuntas terselesaikan juga menjadikan krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin menipis. Kedua,ialah meyakinkan masyarakat dengan sosialisasi yang menyeluruh dan serius. Hal ini dikarenakan, banyaknya kebijakan yang dilakukan terkadang tidak disosialisasikan terlebih dahulu dengan rakyat dan ujug-ujug ada kebijakan sendiri. Padahal semestinya, objek dari suatu kebijakan ialah masyarakat, maka harusnya masyarakat lebih paham terlebih dahulu mengenai kebijakan yang diperuntukkan untuk dirinya dari pemerintah. Tetapi kondisi di lapangan tidak berbicara seperti itu, hal itu yang menjadikan masyarakat sangat awam yang tidak sempat menonton televisi dan terlalu sibuk untuk bekerja tidak mengetahui bahwa pemerintah sebenarnya menawarkan solusi untuk kita agar terbebas dari permasalahan sosial. Ketiga, fokuskan kebijakan yang merespon tidak hanya untuk menanggulangi masalah sosial yang terjadi sekarang saja, tetapi bagaimana kebijakan itu menangani permasalahan sosial agar benar-benar tuntas sampai ke akarnya. Jika diibaratkan pelaksanaan suatu kebijakan seperti mencabut rumput, maka kita haruslah mencabut rumput tersebut hingga ke akarnya, agar permasalahan sosial benar-benar terselesaikan minimal mecapai angka 90% terselesaikan. Seperti contoh yang kini sedang marak terjadi ialah kabut asap yang ada di daerah Sumatra. Kabut asap seperti itu sudah terjadi dalam kurun waktu 18 tahun, yang tiap tahunnya pasti ada kebakaran hutan terjadi. Hal ini menjadikan kebakaran hutan dan lahan di daerah Sumatra seperti agenda tahunan yang setiap tahunnya akan menelan korban. Selama kurun waktu 18 tahun ini, pemerintah hanya difokuskan bagaimana solusinya ketika hutan itu benar-benar sudah terbakar hingga menjadikan kabut asap memakan banyak korban meninggal dunia karena infeksi saluran pernafasan. Kebijakan yang dilaksanakan dilihat hanya mencakup bagaimana ntuk menghilangkan asap yang mengganggu tersebut pada hari adanya asap dan kabut tebal, tanpa memikirkan agaimana cara agar tahun depan tidak akan ada lagi hutan terbakar yang memakan banyak korban berjatuhan. Kebijakan seperti ini seperti kebijakan yang hanya menyelesaikan permasalahan dari sisi luarnya saja dan belum mencapai akarnya. Semoga ke depan pemerintah mampu menyelesaikannya dengan sungguh-sungguh agar tidak ada lagi korban berjatuhan.

2.      Bagaimana kondisi sosial ekonomi di Indonesia?
Ketika berbicara mengenai permasalahan sosial ekonomi, tentu kita tidak akan lepas dari sebuah kata yaitu kemiskinan. Indonesia dewasa ini sedang berada dalam keadaan untuk menghadapi MEA (masyarakat ekonomi asean) atau yang biasa kita dengar dengan pasar bebasnya asean. Sebagai negara yang di kenal “konsumtif”, Indonesia tentu menjadi incaran dari berbagai negara sebagai sasaran dari pasar babas ini. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai produk luar negri di Indonesia yang dengan keberadaan mereka justru malah menyingkirkan produk asli dari Indonesia ini sendiri. Produk-produk ini tidak hanya mencakup produk yang memiliki harga tinggi saja, bahkan produk-produk yang kecilpun kita masih banyak yang impor dan luar negri. Seperti misalkan baju, mobil bahkan beras, bawang merah, bawah putih dan cabai pun kita mengkonsumsi barang impor dari luar negri. Sangat miris memang, ditengah keadaan Indonesia yang terkenal sebagai negara agrari tetap beras pun kita masih menggunakan beras impor produk luar negri. Tidak dapat dipungkiri, sebagai suudzon dari orang awam ini, bahwa permainan politik oleh para petinggi-petinggi dan pemilik kekuasaan pasti bergulir di tengah permasalahan sosial seperti ini. Tetapi tidak semua orang tahu dan peduli dengan keadaan sosial ekonomi yang seperti ini. Dapat dikatakan bahwa keadaan sosia ekonomi Indonesia saat ini sedang “carut marut”. Seperti yang dikatakan oleh Bang Haji Rhoma Irama bahwa yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Orang yang mempunyai akses mudah, ilmu yang tinggi dan harta yang banyak tentu tidak akan merasa keberatan dengan ekonomi yang sedang melonjak seperti ini, ditambah lagi dengan dolar yang sedang naik bahkan hingga mencapai angka Rp 15.000,00.
Berbicara mengenai kemiskinan, kemiskinan adalah suatu masalah sosial yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial. sejarah lahirnya kebijakan sosial tidak bisa lepas dari hadirnya persoalan kemiskinan di masyarakat. Kemiskinan adalah masalah sosial yang paling dikenal oleh orang, bahkan banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan ialah sumber atau akar dari berbagai masalah sosial. kemiskinan mempengaruhi masalah sosial lainnya begitu pula sebaliknya. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa dalam upaya pengentasan kemiskinan ini menelan biaya yang sangat besar. Di Indonesia, biaya yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan ini terus eningkat dari tahun ke tahunnya sebesar Rp, 18 Triliun pada tahun 2004, menjadi Rp 23 Triliun pada tahun 2005. Pada tahun 2006, anggaran ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 42 triliun, dan pada tahun 2007 dana yang dialokasikan sebesar Rp, 51 triliun[4]. Angka yang cukup fantastis memang, bukan dalam jumlah yang sedikit dan itu tergolong sangat tinggi, dan tentu akan menjadi semakin tinggi dan semakin banyak pada tahun 2015 ini. Ditambah lagi dengan permasalahan sosial yang semakin kompleks. Berbagai cara telah dilakukan untuk proses penanggulangan kemiskinan, tidak hanya berbentuk dalam pencairan dana ini, tetapi bisa juga berbentuk suatu pendekatan. Adapun pendekatan yang dilakukan itu di bagi menjadi dua, seperti yang di kemukakan oleh Bapak edi Suharto dalam bukunya beliau engatakan bahwa ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengartikan kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang menjadikan kemiskinan ini terjadi pada masyarakat. Sehingga ketika kita mengetahui faktor apa yang membuat mereka hidup dalam lingkar kemiskinan, kita bisa menemukan solusi untuk proses penyelesainnya. Karena tidak semua orang miskin dikarenakan hal yang sama. Ada beberapa faktor yang menjadikan orang miskin, yaitu faktor ekonomi, sosial, budaya, struktural dan lain sebagainya.
Kondisi sosial ekonomi yang seharusnya terjadi di Indonesia ini, idealnya ialah sejahtera. Mengingat sumber daya alam yang memadai ditambah dengan lahan yang subur bahkan tanaman apapun ditanam di Indonesia bisa tumbuh tetapi kita malah menggunakan produk dari luar negri. Ketika kita menyayangkan bahwa Indonesia masih saja bangga dengan menggunakan produk luar negri yang berupa alat elektronik, mungkin hal itu masih bisa ditolerir dikarenakan Indonesia masih kesulitan dalam mengakses gadjet atau bahkan memproduksi gadjet sendiri. Meskipun kini banyak kita jumpai bahwa anak negri pun bisa membuat mobil, robot bahkan hingga pesawat. Namun bila ditelisik lebih dalam lagi mengenai birokrasi yang ada di negri ini, hal itu bisa menjadi maklum. Karena meskipun anak bangsa mampu memproduksi produk dalam negri, kita kesulitan dalam segi pemasarannya.
Selain sumber daya alam, sumber daya manusia di negri kita ini sebenarnya juga sangat menunjang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, tentu jika jumlah ini kita kelola dengan baik akan menghasilkan generasi yag lebih produktif. Hanya saja dengan jumlah penduduk yang banyak ini, mereka hanya bisa dimanfaatkan sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negri ini. Bukan karena kualitas tetapi lebih kepada kuantitas. Jika negara lain menjadikan hasil kreatif mereka sebagai daya jual yang kemudian dibeli oleh negara kita, maka negara kita menjadikan sumber daya manusia sebagai ladang bisnisnya. Miris memang, tapi begitulah faktanya. Alangkah lucunya negri ini.

3.      Bagaimana kebijakan sosial merespon?apa tantangannya
Berbicara mengenai kebijakan tentu erat kaitannya dengan pemerintah dan negara. Hal ini dikarenakan negara dan pemerintah ialah yang paling berwenang dengan kebijakan yang terjaid di negara ini. Pemerintah sebagai pelaku pengambilan keputusan dan pelaksanaan tentu menjadi wadah yang paling di sorot. Di Indonesia, pentingnya peran negara dalam membangun dan mengimplementasikan kebijakan publik di bidang kesejahteraan (publik welfare), dilandasi oleh perspektif historis, ideologis, logis dan global universal.
a.       Secara Historis, pendiri bangsa memilih model negara kesejahteraan dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
b.      Secara ideologis, sila-sila dalam Pancasila menegaskan kerinduan Indonesia akan adanya keadilan sosial bagi segenap warganya.
c.       Secara logis, Indonesia ialah negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, dengan separuh (untuk tidak menyatakan sebagian besar) warganya masih terhimpit masalah kemiskinan, kebodohan dan ketelantaran. Karenanya, sangat absurd jika negeri ini tidak membutuhkan keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyatnya.
d.      Secara universal, tidak ada sistem pemerintahan di dunia ini yang tidak memberikan peran kepada negara untuk menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial. Di negara yang menganut kapitalisme maupun sosialisme sekalipun. Peran negara ini dibuktikan dengan pembentukan lembaga setingkat departemen atau kementrian yang secara khusus mengelola berbagai skema perlindungan sosial. perlindungan sosial mencakup baik jaminan sosial yang bersifat formal seperti bantuan sosial dan asuransi sosial, maupun jaminan kemasyarakatan yang bersifat informal, seperti jaringan pengaman sosial, dana sosial, serta gerakan-gerakan masyarakat berbasis inisiatif lokal.
Perlu ditegaskan bahwa meskipun kebijakan publik sangat identik dengan kebijakan negara, pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang menentukan kebijakan sosial. masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki tugas dan tanggung jawab sosial untuk menyelenggarakan pelayanan sosial di Indonesia. [5]
Negara sebagai pemangku kebijakan dalam wacananya sebenarnya sudah cukup bagus dan teliti dalam memberikan solusi untuk pengentasan masalah sosial. hanya saja seringkali kebijakan ini “mandeg” di wacana saja. Ketika pelaksanaan kebijakan sosial yang diterapkan terkadang tidak mampu menyentuh akar. Masih banyak pihak yang dirugikan atau bahkan masyarakat yang tergolong Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) justru belum mengetahui dengan kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah. Bukti nyata dari kebijakan sosial yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan adanya pelayanan sosial. Pelayanan sosial ialah aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan individu atau kelompok tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran dan bahkan kriminalitas. Kategori pelayanan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanannya (misalnya pelayanan atau perawatan pada anak, remaja, lansia), setting atau tempatnya (misalnya: pelayanan sosial di sekolah, tempat kerja, penjara, rumah sakit) atau berdasarkan jenis atau sektor (misalnya:pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khusus dan vokasional, jaminan sosial, perumahan)[6].
Dari beberapa pemaparan diatas sebenarnya pemerintah sudah cukup aktif dalam melaksanakan sebuah kebijakan sosial untuk membantu meminimalisir masalah sosial yang terjadi. Hanya saja dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tentu tidak akan pernah terlepas dari sebuah hambatan maupun tantangan yang akan ditemui di lapangan. Ada beberapa tantangan yang sudah terjadi dan mungkin akan terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengklasifikasikan berbagai tantangan itu ke dalam dua kategori, yaitu:
a.       Tantangan yang datang dari luar
Pertama ialah tantangan yang akan datang dari luar sektor pemangku kebijakan tidak dapat dipungkiri sudah mulai terjadi akhir-akhir ini. Ada berbagai macam bentuk tantangan yang terjadi, seperti arus globalisasi yang sudah menjadi wacana dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, yang kedua ialah pasar bebas yang akan dihadapi atau bahkan sudah mulai dihadapi di negara ini. Selain kedua tantangan tersebut yang bersifat nasional, ada tantangan lainnya dari luar yang tidak terjadi di semua tempat ialah permasalahan akses. Kita contohkan kasus BPJS atau jaminan sosial, penerima BPJS ini mungkin sudah menyeluruh bahkan hingga ke pelosok negri. Tetapi bisa kita bandingkan bagaimana perbedaan pelayanan jaminan sosial yang terjadi di Jogja dengan pelayanan jaminan sosial yang terjadi di daerah terpencil seperti Papua, tentu aan sangat berbeda. Salah satu faktor yang membedakannya ialah faktor akses yang kurang memadai di daerah terpencil. Jika kita warga Jogja hanya memerlukan sepeda motor untuk mengakses aminan sosial tersebut, lain halnya dengan mereka yang harus menggunakan perahu untuk menuju ke puskesmas.
b.      Tantangan yang datang dari dalam
Tantangan dari dalam yang sudah terjadi ialah korupsi. Mengapa korupsi, karena korupsi pasti dilakukan oleh orang yang ada di dalam pemangku kebijakan ini. Kerena merekalah yang mengetahui berapa jumlah dana yang dimiliki sehingga ini yang menjadikan mereka melakukan tindak pidana tersebut.
Apapun tantangan yang akan terjadi dalam pelaksanaan kebijakan sosial ini, sebagai seorang yang sudah duduk di bangku pemerintahan pasti bukanlah sembarangan orang. Mereka yang tengah menduduki kursi panas di DPR mauun di lembaga petinggi pemerintahan ini pasti bukanlah orang asal, mereka pasti berasal dari akademisi yang sudah mengenyam bangu kuliah bahkan hingga ke luar negri. Sebagai orang yang berpendidikan dan sudah mengenyam ilmu, tentu mereka bisa memikirkan bagaimana solusi yang harus dilakukan untuk meminimalisir permasalahn sosial yang terjadi, dan bukan malah menambah masalah negara.


KEBIJAKAN SOSIAL SEPERTI APA ?
Sebagaimana sudah kita bahas sebelumnya secara panjang dan lebar mengeai kebijakan, kebijakan sosial dan sedikit menyinggung mengenai kebijakan publik. Karena kebijakan sosial tidak akan bisa lepas dari suatu kebijakan publik. Adapun fungsi dari kebijakan sosial seperti yang disampaikan oleh Bapak Edi Suharto dalam perkuliahannya menyampaikan bahwa kebijakan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a.       Sebagai prevention (mencegah masalah)
b.      Sebagai rehabilitation (merawat, menyembuhkan)
c.       Sebagai protection (melindungi)
d.      Sebagai provision (menyediakan kebutuhan dasar)
e.       Sebagai fulfilment (memenuhi hak asasi manusia)
Dari berbagai pemaparan diatas mengenai fungsi dari adanya suatu kebijakan, sebuah tujuan yang baik lagi mulia yang ingin diterapkan oleh pemerintah dari suatu kebijakan ini. Kebijakan yang pro rakyat jelas hal ini yang diinginkan, dikarenakan tujuan dari adanya kebijakan ialah ingin mensejahterakan rakyatnya.
Ketika akan menjawab mengenai pertanyaan keempat tersebut, mengenai kebijakan seperti apa yang ingin dilakukan. Jawaban yang paling mudah ialah kebijakan yang pro rakyat, yang dilakukan dengan sebenar-benarnya untuk tujuan membantu para PMKS terlepas dari belenggu kemiskinan dan masalah sosial seperti sekarang ini.
Tetapi pada kenyataanya, pemberian bantuan atau aksi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan hanya memiliki dampak yang tidak signifikan. Pemberian uang secara Cuma-Cuma atau yang biasa kita kenal dengan BLT bukanlah suatu jalan keluar yang efisien jika dilakukan di tengah keadaan masyarakat yang sedang dalam persaingan pasar bebas seperti sekarang ini. Adapun dampak yang ditimbulkan dari pemberian uang secara Cuma-Cuma tersebut malah menjadikan masyarakat tidak kreatif dan hanya mengandalkan dana bantuan yang datang setia dua bulan sekali untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun sebenarnya dana itu pun sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika kita tinjau kebijakan seperti apa yang harusnya dilakukan oleh pemerintah dari berbagai aspek, penulis mencoba mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a.       Ekonomi
Kebijakan yang diperlukan dalam segi ekonomi bukanlah sebatas pemberian uang secara Cuma-Cuma, tetapi pemberian lapangan pekerjaan yang luas agar mereka bisa lebih mandiri dalam menghidupi keluarganya.
b.      Pendidikan
Kebijakan pedari segi pendidikan yang amat dibutuhkan ialah megenai beasiswa, wajib belajar 9tahun yang dicanangkan oleh pemerintah memang baik. Tetapi alangkah lebih baiknya jika biaya pendidikan di negri ini tidak lantas menjadikan anak-anak putus sekolah dengan alasan biaya sekolh yang tinggi terutama di tingkat SMP dan SMA. Oleh karena itu mengapa banyak anak berhenti bersekolah di sekolah dasar saja. Dengan kata lain beasiswa ini diperlukan agar tidak banyak lagi anak-anak yang putus sekolah.
c.       Transmigrasi
Kebijakan dalam hal transmigrasi mungkin sudah menjadi wacana lama yang dilakukan pemerintah terutama dalam segi pemerataan penduduk dan pengentasan kemiskinan. Lahan yang masih luas membentang di luar pulau jawa bisa menjadi solusi konkrit bagi para gelandangan atau masyarakat yang hidupnya di bawah jembatan. Hanya saja proses yang cenderung sulit dan kurangnya kejelasan mengenai penghidupan mereka di tanah migrasi itu membuat mereka enggan untuk bertransmigran.
Mungkin hanya itu kebijakan yang diinginkan dan diperlukan oleh masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai PMKS. Masalah sosial memang bukanlah masalah yang membuat kita hanya mengandalkan pemerintah atau negara saja, ini masalah kita bersama. Ada berbagai cara yang kita bisa lakukan untuk mengentasakan kemiskinan dan permasalahan sosial yang diantaranya ialah melalui pembuatan atau pelaksanaan kebijakan ini. Meskipun kita tidak atau belum bisa menjadi pemangku kebijakan sosial, tapi setidaknya kita sebagai masyarakat awam yang hidup dalam lingkup akademisi mampu membantu sebagai pelaksana dari program kebijakan publik ini.  

pendekatan filologi dalam kajian islam



ABSTRAK
Filologi merupakan salah satu metode pendekatan yang dilakukan dalam proses pengkajian agama Islam maupun agama lainnya. Pendekatan filologi menggunakan naskah dan teks sebagai objek dari pendekatan yang mereka fokuskan. Meskipun dewasa ini pendekatan filologi sudah tidak terlalu trend dilakukan, tetapi pendekatan ini berperan sangat penting dalam kemajuan intelektual di seluruh dunia. Karena istilah filologi ini sendiri berasal dari bahasa Yunani dan diaplikasikan lebih dulu oleh para peneliti Barat.
PENGANTAR
Dewasa ini, di Indonesia pada khususnya telah melahirkan banyak sekali penulis-penulis yang memilih kajian Islam sebagai fokus dari penelitian maupun tulisannya. Sejarah Islam yang panjang, dan memiliki banyak ilmuwan juga berbagai perbedaan dalam pemahaman Islam sendiri bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian penulis yang menfokuskan karyanya untuk meneliti agama Islam.
Berbicara mengenai sejarah Islam dan para penulis yang meneliti tentang kajian Islam, tentu kita tidak bisa lepas dari sumber yang menjadikan lainnya para penulis-penulis tersebut. Sumber-sumber yang menjadi bukti dari peradaban sejarah Islam salah satunya ialah berupa naskah dan teks. Adapun naskah-naskah tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadist dan lain sebagainya. Berbagai naskah ini bisa kita temukan di tempat-tempat bersejarah dengan naskah tersebut, perpustakaan dan lain sebagainya. Di dalam pendekatan yang digunakan untuk memahami tulisan masa lampau ini, para penulis maupun peemu biasa menggunakan metode pendekatan filologis.
Melalui makalah yang singkat ini, penulis akan sedikit menjabarkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian pendekatan filologis dalam penelitian naskah agama islam, objek dan sasaran filologi, tujuan filologi, sejarah filologi, teori filologi dan metode pendekatan filologi. Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Sekian.




PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
Pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah dikenal cukup lama. Pendekatan ini sangat populer bagi para pengkaji agama terutama ketika mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa lalu. Karena objek dari pendekatan filoogi ini adalah warisan keagamaan, berupa naskah-naskah klasik dalam bentuk manuskrip. Naskah-naskah klasik itu meliputi berbagai disiplin ilmu; sejarah, teologi, hukum, mistisme dan lain-lainnya yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dimanfaatkan di egara-negara muslim. Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam itu adalah bahasa, seperti Bahasa Arab, Persia, Turki dan Urdu.
Dalam pengertiannya, filologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “philos” yang berarti “cinta” dan “logos” yang berarti’ pembicaraan’, ‘kata’ atau ‘ilmu’. Pada kata “filologi” kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu” atau “senang kebudayaan”, hingga dalam perkembangannya sekarang filologi identik dengan senang kepada tulisan-tulisan yang ‘bernilai tinggi’.
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai sekitar abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi, filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya. Jadi, filologi sebagai disiplin ilmu mengenai bahasa dan sastra suatu bangsa, pada mulanya erat kaitannya dengan bahasa dan sastra bangsa Yunani dan Romawi, kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa-bangsa lain, seperti bahasa Perancis, Spanyol dan Belanda.


Filologi sebagai istilah memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1.      Filologi sebagai ilmu tentang pengetahuan yang pernah ada. Dari pengertian ini, filologi memperoleh arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.
2.      Filologi sebagai ilmu bahasa. Dalam konsep ini, filologi dipandang sebagai ilmu dan studi bahasa yang indah, seperti yang saat ini dilakukan oleh linguistik. Apabila studinya dikhususkan terhadap teks-teks masa lampau, filologi memperoleh makna sebagaimana yang terdapat pada linguistik diakronis, yang menangani perbandingan bahasa, perkembangan bahasa, dan hubungan kekerabatan antara beberapa bahasa. Filologi dengan pengertian ini salah satunya dapat dijumpai di Inggris, sementara di Arab, filologi yang demikian disebut dengan istilah fighullughah.
3.      Filologi sebagai ilmu sastra tinggi. Arti ini muncul ketika teks-teks yang dikaji berupa karya sastra yang bernilai tinggi, yaitu karya Humeros.
4.      Filologi sebagai studi teks. Yaitu suatu studi yang melakukan kegiatannya dengan melakukan kritik terhadap teks atau kritik teks. Dalam pengertiannya yang demikian, filologi dikenal sebagai studi tentang seluk beluk tekstologi.

B.     Objek dan Sasaran Filologi
Filologi mencoba mengungkapkan hasil budaya suatu bangsa melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks klasik dapat dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan atau yang biasanya disebut naskah. Objek kajian filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah. Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah. Naskah sering pula disebut dengan manuskrip atau kodeks yang berarti tulisan tangan.
Naskah yang menjadi objek kajian filologi mempunyai karakteristik bahwa naskah tersebut tercipta dari latar belakang sosial budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar sosial budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya sudah rusak. Bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu telah mengalami kerusakan atau perubahan. Gejala yang demikian ini terlihat dari munculnya berbagai variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau.
Wahana teks-teks filologi ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks tulisan ada yang berupa tulisan tangan (naskah) dan tulisan cetakan. Oleh karena itu, dilihat dari tradisi penyampaiannyaterdapat filologi lisan, filologi naskah dan filologi cetakan. Kerja filologi lisan banyak berkaitan dengan studi tradisi lisan yang merupakan yang merupakan tradisi penyampaian teks yang paling tua. Filologi naskah banyak berhubungan dengan pengetahuan mengenai kehidupan naskah, mengenai berbagai segi penyaksian dengan tulisan tangan dan akibat-akibatnya. Filologi cetakan banyak berhubungan dengan tradisi cetakan. Tradisi ini dimulai pada tahun 1450, saat ditemukannya teknik cetak mencetak oleh Guttenberg dari Jerman.
Dalam sejarah perkembangannya, pengertian filologi mengalami perubahan dan perkembangan. Pengertian dan penerapannya di Indonesia contohnya, pada awal mulanya dipengaruhi oleh para ahli terdahulu, yang sedikit banyak dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pemahaman tentang filologi yang berlaku dan yang diperlukan untuk mnggarap karya-karya abad pertengaha yang menjadi sasaran dan objek kerja peneliti filologi terdahulu.
Naskah-naskah di Indonesia menyimpan sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan. Diantara yang belum banyak mendapat sentuhan penelitian adalah naskah-naskah yang menyimpan ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam. Naskah-naskah tersebut pada saat ini sedang menunggu perhatian dari para ahli bidangnya.
C.    Tujuan Filologi
Sejarah asal mula lahirnya filologi sebagai suatu istilah, menunjukkan bahwa filologi diperlukan dalam upaya mengungkap informasi mengenai kehidupan masa lampau suatu masyarakat tertentu, yang tersimpan dalam wujud peninggalan yang berupa tulisan. Diketahui, melalui penggarapan naskah, filologi mengkaji teks klasik dengan tujuan mengenalinya sesempurna mungkin dan selanjutnya menempatkannya dalam keseluruhan sejarah suatu bangsa. Dengan menemukan keadaan teks seperti adanya semula, maka teks dapat terungkap secara sempurna pula. Secara terperinci, dapat dikatakan bahwa filologi memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:


1.      Tujuan umum
a.       Memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tulisan
b.      Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya
c.       Mengungkap nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan
2.      Tinjauan khusus
a.       Menyunting sebuah teks yang dipandang mendekati teks aslinya
b.      Mengungkap sejara terjadinya teks dan sejarah perkembangannya
c.       Mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaanya.
Secara umum filologi bertujuan untuk menertibkan, menyunting dan menganalisis suatu naskah kuno. Tentu dalam hal ini sangat memerlukan disiplin-disiplin ilmu lainnya sebagai sejarah, filsafat sosiologi, antropologi, sejarah agama dan lainnya. Maka dapat dikatakan bahwa secara praktis penelitian filologi dilakukan untuk tujuan menunjang ilmu-ilmu lain. Sedangkan secara metodologis dilakukan karena banyaknya naskah kuno yang masih harus diuji otentitas isi kandungan atau teksnya. Pengujian otentitas atau kemurnian suatu teks tersebut harus dilakukan secara cermat dan kritis terhadap semua varian yang terdapat dalam teks, yang dimaksudkan agar dapat menghasilkan suatu teks yang mendekati aslinya. Sementara kegunaan hasil penelitian filologi adalah sebagai suatu informasi yang sangat beharga bagi khalayak umum dan dapat digunakan oleh cabang-cabang ilmu lain, seperti sejarah, hukum dan agama.
D.    Sejarah Filologi
Uraian mengenai periodisasi filologi berkisar pada masalah perkembangan filologi secara kronologs. Dalam hal ini menyangkut pula bagaimana proses perjalanan filologi dalam setiap kurun waktu tertentu sejak kemunculannya pertama kali di wilayah-wilayah tertentu dan telah tercatat dalam kalangan dunia ilmu pengetahuan.
1.      Permulaan lahirnya filologi
Berbicara masalah kegiatan filologi pada masa awal pertumbuhannya, tidak berarti hanya berkisar pada saat kali pertama filologi itu muncul dan dikenal lalu selesai sampai di situ, tetapi mencakup suatu proses perjalanannya hingga tumbuh sebuah pandangan baru di bidang filologi tersebut. secara garis besar, dapat diberikan sebuah patokan waktu untuk masa pertumbuhan filologi itu sejak abad ke-3 SM hingga menjelang abad pertengahan, yakni sekitar abad ke-9 M. Di dunia Barat, masa awal kegiatan filologi berlangsung pada abad ke-3Sm meskipun wilayah yang menjadi rujukan para ahli yang berada di Pantai Utara Benua Afrika, yakni kota Iskandariyah di wilayah negara Mesir yang secara geografis termasuk daerah Timur Tengah. Namun, karena wilayah tersebut pada saat ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Yunani, maka dipandang bahwa kota Iskandariyah termasuk wilayah Eropa.
Pada abad ke-3 SM, kota Iskandariyah telah menjadi pusat ilmu pengetahuan karena di tempat itu sudah banyak ahli yang melakukan penelitian dan pengkajian teks-teks naskah. Para ahli ini kebanyakan berasal dari sekitar Laut Mediterania dan Eropa Selatan, terutama bangsa Yunani.
Pada abad ke-1 SM kota Iskandariyah jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Romawi, sehingga pusat kegiatan filologi bergeser ke kota Roma. Tradisi ini berkembang hingga abad ke-4 M yang ditandai dengan pecahnya kerajaan itu menjadi dua yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur. Sejak saat itu, perkembangan kebudayaan Yunani, yaitu yang disebut hellenisme berangsur-angsur memudar dan mengalami kemunduran. Sejak abad ke-4, kegiatan filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah-naskah berbahasa Romawi yang telah dirintis sejak abad ke-3. Pada abad ke-4 kegiatan filologi di kawasan Timur Tengah berkembang ditandai dengan munculnya perguruan tinggi sebagai pusat studi ilmu pengetahuan. Ketika abad ke-5, kota Edessa terjadi perpecahan gerejani, banyak ahli filologi yang berhijrah ke kawasan Persia dan mereka mendapat sambutan dari penguasa setempat. Penduduk India telah mengembangkan aksara sejak abad ke-8 SM dan pada abad awal Masehi pengaruhnya sudah meluas ke wilayah Kepulauan Nusantara.
2.      Filologi abad pertengahan
Abad pertengahan berlangsung kira-kira sekitar abad ke-10 sampai menjelang zaman Renaisans, yaitu sekitar abad ke-15. Dalam abad pertengahan ini, kegiatan filologi yang semula terpusat kepada naskah-naskah Yunani, tampak mengalami stagnansi bahkan mengalami kemunduran lebih-lebih bahasa-bahasa di daerah kawasan eropa tidak menarik perhatian. Nasranilah yang mula-mula membangkitakn perhatian kepada bahasa-bahasa di daerah eropa yang pada waktu itu penduduknya masih primitif.
Pada abad pertengahan, bangsa-bangsa di Timur Tengah telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki khazanah pernaskahan yang cukup bernilai sebagai karya-karya yang dihasilkan oleh bangsa Arab dan Perth. Perkembangan agama Islam di situ terjadi pada abad ke-10 sampai abad ke-13.
3.      Filologi abad dua puluh
Perkembangan filologi pada abad 20 erat hubungannya dengan aliran yang meliputi seluruh pandangan ilmu pengetahuan. Selama masa tersebut, orang tidak lagi mengutamakan pandangan analitis, tetapi lebih cenderung kepada pandangan atas dasar sintesis. Perkembangan selanjutnya tampak dalam hal cara penggunaan metode kritik teks dalam rangka menghasilkan suntingan berdasarkan pendekatan filologi tradisional, dengan tetap disertai terjemahan ke dalam bahasa asing. Terbitan itu diantaranya adalah yang didasarkan kepada naskah Hikayat Seribu Masalah.

E.     Teori Filologi
1.      Pengertian Naskah dan Teks
Objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah handschriift dengan singkatan hs untuk tunggal, mss untuk jamak. Dengan demikian naskah merupakan benda konkrit yang dapat dilihat dan dipegang. Sedangkan yang dimaksud dengan teks ialah kandungan atau isi dari naskah yang bersifat abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan ada tiga macam teks, yaitu:
a.       Teks lisan (tidak tertulis)
b.      Teks naskah tulisan tangan
c.       Teks cetakan


2.      Terjadinya teks
Berkaitan dengan masalah teks, jarang ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurnanya jelas tersedia. Menurut de Haan Suryani, ada beberapa kemungkinan dalam terjadinya teks, yaitu:
a.       Aslinya hanya ada dalam ingatan pegarang atau pengeloloa cerita. Turun temurun secara terpisah, yang satu dari yang lain melalui dikte, apabila orang itu ingin memili teks sendiri
b.      Aslinya teks tertulis, yang lebih kurang merupakan kerangka yang masih memungkinkan atau emerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa teks aslinya begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain, aslinya disalin, dipinjang, diwarisi atau dicuri.
c.       Aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaannya, karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu.
3.      Istilah Naskah di Luar Koteks Filologi
Di luar konteks filologi, dalam pemakaian sehari-hari naskah yang akan diterbitkan atau diperbanyak pada umumnya tidak lagi ditulis dengan tangan. Dalam hal ini naskah merupakan kopi atau teks bersih yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, misalnya naskah disertasi dan naskah makalah. Di samping itu, istilah naskah dan teks dipakai dengan pengertian yang sama, misalnya naskah pidato dan teks pidato.
4.      Kritik Teks
a.       Pengertian kritik teks
Teks pada umumnya disalin dengan tujuan tertentu. Frekuensi penyalinannya tergantung pada sambutan masyarakat terhadap suatu naskah. Dalam hal teks profan yang dianggap milik bersama, frekuensi tinggi penyalinan menunjukkan bahwa naskah itu sangat digemari, sedangkan sebaliknya merupakan petunjuk kurang populernya suatu naskah.
Suatu teks seperti diungkapkan sebelumnya tidak luput dari berbagai kesalahan atau penyimpanan di dalam tradisi penurunannya. Kesalahan atau penyimpangan itu disebabkan adanya perubahan-perubahan dalam penyajiannya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Teew mengemukakan bahwa perubahan yang dilakukan secara sengaja dalam sebuah teks dapat dibedakan menjadi beberapa hal yakni sebagai berikut:
1)      Perubahan terjadi karena masalah transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem yang lain
2)      Adanya penggarapan kembali karena ingin menyesuaikannya dengan perkembangan idenya
3)      Teks diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit maupun seorang penyunting
4)      Teks diubah karena adanya campur tangan sensor atau seorang pembesar dengan alasan politik, moralis dan lain-lain
5)      Teks diubah karena tujuan tertentu, misalnya disesuaikan dengan pemakaian di sekolah.

5.      Paleografi
Paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuno, yang mutlak diperlukan dalam rangka meneliti tulisan kuno yang tertulis pada batu, logam atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai dua tujuan, yaitu:
a.       Menjabarkan tulisan kuno karena beberapa tulisan kuno sangan sulit dibaca
b.      Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadi tulisan tertentu.

F.     Metode Kajian Filologi
Berkenaan dengan masalah metode kajian filologis, Teeuw mengemukakan bahwa metode yang dikembangkan dalam filologi oleh Lachman dan beberapa tokoh lain berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam bentuk naskah atau karangan yang unik dan murni, yang kemudian dalam penurunan sepanjang masa menjadi kacau atau korup karena salah tulis oleh penyalin, baik salah yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Oleh karena itu tujuan utama dari filologi ialah memulihkan teks kepada sebuah bentuk yang diperkirakan paling sesuai dengan karangan aslinya lewat perbandingan naskah secara cermat.
Metode kajian filologi terbagi atas metode penelitian naskah, berupa deskripsi wujud fisik dan metode kajian teks atau kritik teks.
1.      Metode Penelitian Naskah
Sasaran atau hasil dari metode penelitian naskah berupa identitas, kondisi, dan keberadaan naskah. Dalam skala kuantitas yang besar dapat diwujudkan beberapa katalog naskah. Sedangkan aplikasi dan metode tersebut berupa pendeskripsian berbagai aspek fisik naskah yang meliputi ragam aksara/huruf, ragam bahasa dan ciri-ciri luar naskah. Adapun tahapan-tahapan penelitian naskah tersebut meliputi: intervensi naskah, deskripsi naskah, klasifikasi naskah, silsilah naskah atau steme dan penentuan naskah dasar.
a.       Intervensi naskah dapat dilakukan melalui penelitian di museum atau perpustakaan dan penelitia di kalangan masyarakat.
b.      Pendeskripsian identitas naskah yang meliputi aspek-aspek antara lain sebagai berikut:
1)      Judul naskah
2)      Nomor naskah/ kode koleksi
3)      Nama enyusun/pengarang
4)      Tarikh penyusunan
5)      Tempat penyusunan
6)      Pemrakarsa penyusunan
7)      Nama penyalin
8)      Tarikh penyalinan
9)      Tempat penyalinan
10)  Pemrakarsa penyalinan
11)  Aksara/huruf
12)  Bahasa
13)  Bentuk karangan
14)  Ukuran
15)  Jumlah baris setiap halaman
16)  Bahan naskah
17)  Jenis kertas
18)  Cap kertas
19)  Tebal naskah
20)  Jilid/serial naskah
21)  Penomoran halaman
22)  Kondisi fisik
23)  Asal/ riwaat naskah
24)  Pemilik naskah
25)  Keterangan/penjelasan umum
26)  Data pendiskripsian naskah

c.       Singkatan naskah dan klasifikasi naskah yang dilakukan untuk memudahkan pengenalan naskah serta untuk menentukan naskah sumber primer dan sumber sekunder.
d.      Komparasi naskah atau perbandingan antar naskah, antara lain ditempuh melalu perbandingan kuantitas teks untuk mendapatkan gambara isi naskah secara jelas dan untuk mengetahui adanya unsur-unsur baru dalam naskah.
e.       Menentukan silsilah naskah atau stema naskah. Melalui stema naskah dapat menentukkan pertalian atau kekerabatan antar naskah yang memuat teks yang sama yang diwujudkan dalam bentuk silsilah atau skema atau silsilah naskah.
f.       Penentuan naskah dasar yang akan ditransliterasi yang dilakukan dengan pertimbangan, antara lain : isinya lengkap dan tidak lebih banyak penyimpangan ketimbang dengan naskah lainnya, kondisi naskah utuh, bahasanya linear dan mudah dipahami.

2.      Metode Kajian Teks
Sasaran metode kajian teks adalah proses rekonstruksi teks guna menghasilkan sebuah edisi teks atau suntingan teks berdasarkan naskah-naskah tertentu yang telah dikaji. Sebuah suntingan tes ada yang didasarkan atas codex uniqus ‘naskah tunggal, ada pula yang didasarkah pada ‘naskah banyak’.
Apabila hanya terdapat sebuah naskah, maka bisa ditempuh melalui dua cara, yaitu: edisi diplomatik dan edisi standar. Sedangkan jika naskah yang diperolah lebih dan satu buah, maka ada empat metode yang dapat dipilih, yakni: metode intuitif, metode objektif, metode gabungan dan metode landasan. Namun demikian, proses penyuntingan teks yang didasarkan atas naskah banyak, para praktiknya, cenderung hanya bergantung pada dua pilihan, yakni antara metode gabungan dan metode landasan.
3.      Metode edisi naskah tunggal (coder uniqus)
Apabila hanya ada naskah tunggal yang tidak memungkinkan dilakukan perbandingan, maka dapat ditempuh dua jalan berikut ini:
a.       Edisi diplomatis, yaitu menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan. Edisi diplomatik yang baik adalah hasil pembacaan yang teliti oleh seorang pembaca yang ahli dan berpegalaman.
b.      Edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedangkan ejaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

4.      Metode edisi naskah banyak (coder multus)
Apabila naskah yang ditemui dilapangan tersebut berjumlah banyak, maka ada beberapa metode yang dilakukan, yaitu:
a.       Metode intuitif
Dikarenakan sejarah terjadinya teks dan penyalinan yang dibuat berulang kali, maka pada umumnya tradisi teks sangat beranea ragam. Pada zaman humanisme, orang ingin mengetahui bentuk asli karya-karya klasik Yunani dan Romawi. Ketika itu, metode ilmiah objektif belum dikembangkan. Orang bekerja secara intuitif, dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua. Di tempat yang dipandang tidak betul atau tidak jelas, naskah itu diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan menggunakan akal sehat, selera baik dan pengetahuan luas. Metode ini bertahan sampai abad ke 19.
b.      Metode objektif
Pada tahun 1830-an ahli filologi Jerman, Lachman dan kawan-kawan, meneliti secara sistematis hubungan-hubungan kekeluargaan antara naskah-naskah sebuah teks atas dasar perbandingan naskah yang mengandung kehilafan bersama. Jika dari sebuah naskah, ada beberapa naskah yang selalu mempunyai kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, maka dapat disimpulkan bahwa naskah-naskah tersebut berasal dari satu sumber yang hilang.
c.       Metode gabungan
Metode ini dilakukan jika nilai naskah menurut tafsiran fiolog semuanya hampir sama atau perbedaan antar naskah tidak besar. Walaupun ada perbedaan, tetapi hal itu tidak mempengaruhi teks. Pada umumnya yang dipilih ialah bacaan mayoritas atas dasar perkiraan bahwa jumlah naskah yang banyak itu merupakan saksi atas bacaan yang betul. Bila ada yang meragukan misalnya, karena jumlah naskah yang mewakili bacaan tertentu sama, maka dipakai pertimbangan lain, diantaranya kesesuaian dengan norma tata bahasa, jenis sastra, keutuhan cerita, faktor-faktor literer lain dan latar belakang yang pada umumnya.
d.      Metode Landasan
Penerapa metode ini ialah jikan menurut tafsiran, ada satu atau segolongan naskah diyakini lebih unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang diperiksa dari sudut bahasa, kesastraan, sejarah dan lain sebagainya. Dalam metode landasan, varian-variannya hanya digunakan sebagai pelengkap atau penunjang. Seperti halnya pada metode atas dasar bacaan mayoritas, pada metode ini pun varian-varian yang terdapat dalam naskah-naskah lain yang seversi di muat dalam aparat kritik yaitu bahan pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah.













G.    CONTOH PENDEKATAN FILOLOGI: 7 MARTABAT DALAM BUDAYA ISLAM INDONESIA
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.. Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
1.      Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
1.1  ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma',belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi KhodimPada masa ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.
1.2  ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu "La Tak Yin Sani" - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat "Allahus Shomad" iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahirMaka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras'ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.
1.3  ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As'ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan "Hakikat Insan."Martabat ini terkandung ia didalam "Lam yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin.Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan "Ainul Sabithaah". Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi.Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.
1.4  ALAM ROH
Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa'alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia "Jisim Latiff" iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan "KholidTullah."Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.
1.5  ALAM MISAl
Alam Misal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah S.W.T., terus menyatakan diriNya melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa iaitu dinamakan Alam Misal.Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan.Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi "DI", "Wadi", "Mani" yang kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan "Maknikam" ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.
1.6  ALAM AJSAM
Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui "Mani" Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat "InssanulKamil" iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi "KamilulKamil". Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan "InnsanulKamil".Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Kuffuan" iaitu bersekutu dalam keadaan "KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.Selepas cukup tempuhnya dan ketikanya maka diri rahsia Allah yang menjadi "KamilulKamil" itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.

1.7  ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad" iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini.Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.




H.    KESIMPULAN

Pendekatan filologi merupakan suatu pendekatan yang mempunyai peran sangat penting dalam perkembangan kemajuan intekektuaitas di era ini. Karena semua karya-karya dari orang mengkaji pendekatan ni lahir berdasarkan karya dari pengkaji masa lampau yang mampu di transformasikah dalam melalui bahasa maupun tulisan melalui pendekatan filologis, yang dalam hal ini lebih memfokuskan pada pendekatan filologis dalam kajian islam.
Dalam contoh yang telah dikemukakan, bahwa ada suatu aliran dalam Islam yang berkembag berdasarkan suatu teks kuno yaitu mengenai faham martabat tujuh. Meskipun aliran jenis ini masih belum banyak dikenal oleh masyarakat dan malah sudah hampir tidak ada, tetapi sejarah masih mencatat mengenai paham martabat tujuh ini. Hal ini pun dibuktikan dengan masih banyaknya peneliti baik dar kalangan akademisi maupun sufi yang menulis mengenai faham ini sebagai salah satu faham dalam Islam.

I.       DAFTAR PUSTAKA

NS, Ekis Suryani, 2012, Filologi, Ghalia Indonesia, Bogor
Masyhur Amin, M, 1992, Pengantar Ke arah Metode, Penelitian dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Agama, IAIN Sunan Kaijaga Yogyakarta.